Opini: Guru, Pilar Bangsa yang Membentuk Cara Saya Memandang Hidup

Oleh: Muhammad Tahar
Editor: Syadir Ali

Setiap kali Hari Guru Nasional tiba, ingatan saya selalu kembali kepada dua sosok yang paling berjasa dalam hidup saya: kedua orang tua saya sendiri. Mereka bukan pejabat tinggi, bukan pula tokoh besar yang fotonya memenuhi baliho. Mereka hanya guru sekolah dasar di desa—sederhana, bersahaja, namun memiliki pengaruh yang jauh lebih kuat daripada apa pun yang bisa saya pelajari dari buku.

Ayah saya, almarhum H. Muh Yahya, pernah bertahun-tahun mengajar dengan gaji pas-pasan. Namun beliau tidak pernah mengeluh. Dari beliaulah saya pertama kali memahami bahwa ilmu adalah warisan termulia, jauh lebih bernilai dibanding harta. Di saat orang lain sibuk mengejar kekayaan, ayah justru sibuk memastikan kami anak-anaknya tidak kehilangan arah.

“Tidak ada warisan yang lebih berharga daripada ilmu,” demikian yang selalu ia ulang, seolah itu adalah mantra yang harus kami ingat seumur hidup.

Ibu saya, Hj. Haslina, pun tak pernah lelah menanamkan nilai-nilai kejujuran dan kemandirian. Kesederhanaannya tidak pernah memudar—meski kini usianya tak lagi muda. Dari perempuan tangguh inilah saya belajar bahwa ibadah dan disiplin bukan sekadar ritual, tetapi fondasi untuk menjalani hidup yang benar.

Setiap pagi, jam empat subuh, ia masih seperti dulu: bangun, berdoa, dan menyiapkan hari dengan ketenangan yang khas. Melihatnya, saya selalu merasa kecil—karena sekeras apa pun saya bekerja, saya belum bisa menandingi keteguhan seorang perempuan yang hidupnya dipersembahkan untuk keluarga dan murid-muridnya.

Kisah kedua orang tua ini tidak hanya membentuk karakter saya sebagai seorang anak, tetapi juga sebagai seorang jurnalis.
Saya belajar bahwa menulis bukan sekadar pekerjaan, tetapi bentuk pengabdian. Jika guru mengajarkan ilmu di kelas, maka jurnalis mengabdi melalui kata-kata, menyampaikan kebenaran, membangun kesadaran, dan—semampu mungkin—menyebarkan manfaat.

Dalam perjalanan karier, saya sering bertemu banyak guru: guru yang hebat, guru yang berjuang dalam keterbatasan, guru yang tetap idealis walau sistem kadang tidak berpihak. Mereka semua mengajarkan saya bahwa menjadi pendidik bukan profesi mudah. Tapi justru karena itulah profesi ini mulia.

Guru adalah pilar bangsa.
Dari mereka lahir generasi yang kelak memimpin negeri ini. Dari mereka tertanam nilai moral, integritas, dan kecintaan pada ilmu. Maka ketika kita merayakan Hari Guru, sejatinya kita sedang merayakan fondasi sebuah peradaban.

Hari ini, saya ingin mengucapkan terima kasih kepada semua guru, terutama kepada dua guru pertama saya: ayah dan ibu.

Bakti mereka abadi—not hanya dalam ingatan, tapi dalam jejak langkah saya sebagai jurnalis yang terus berusaha menulis dengan integritas dan kejujuran, sebagaimana mereka mengajarkan sejak saya kecil.

Terima kasih, Guru-guruku. Terima kasih, Orang Tuaku.
Semoga setiap ilmu yang kalian ajarkan menjadi amal jariyah yang tak pernah putus.